Halaman

Rabu, 13 April 2016

Jagalah Hati.. Jagalah Diri.. Raih Ridho Ilahi


Karena Cinta.. selalu melahirkan Maaf.
Karena Maaf.. selalu melahirkan Silaturrahmi.
Karena Silaturrahmi.. selalu melahirkan Kebaikan.
Karena Kebaikan.. selalu melahirkan Ketaatan.
Karena Ketaatan.. selalu melahirkan Pahala.
Karena Pahala.. selalu lahir dari ridha Ilahi.

Rejeki

Jangan marah.. kesal.. dan sedih.. bahkan mengeluh..
jika hari ini rejekimu di patok ayam..


Karena Allah.. memberikan rezeki kepada seseorang..
bukan hanya sekedar dari kerja kerasnya saja..
tapi karena seseorang itu memang pantas untuk mendapatkannya.

Sekali lagi..
karena seseorang itu..
memang pantas mendapatkannya di mata Allah.

Tugas kita adalah tetap melakukan sesuatu..
dengan kapasitas yang kita punya..
dalam rangka pemantasan diri..
untuk mendapatkan yang terbaik.

Seberapa besar nanti rezeki yang kita terima..
dan kapan waktunya..
itu bukan kuasa kita lagi..
Itu semua sudah menjadi kuasa Allah.

Karena Allah paling tahu..
seberapa besar rezeki yang pantas kita terima..
dan Allah paling tahun kapan waktu yang tepat rezeki itu hadir.

Untuk itu..
pantaskanlah diri ..
untuk mendapatkan yang terbaik..
dalam hal apapun, termasuk dalam hal rezeki..

Waktu


Orang Barat mengatakan..
Time is money artinya “Waktu adalah uang”.

Orang Arab mengatakan.. Al-waqtu kas saifi..
artinya “Waktu ibarat pedang”.

Dan bagiku..
waktu adalah kehidupan itu sendiri..
karena hidup kita tidak lain adalah..
waktu yang kita miliki..
semenjak kita terlahir..
sampai kita dijemput kematian.

Jika kita menyia-nyiakan waktu kita..
berarti kita menyia-nyiakan hidup kita sendiri.

Oleh sebab itu.. Manfaatkanlah..
Waktu sehatmu, lapangmu, mudamu, jayamu dan hidupmu.
sebelum datangnya sakit, kesempitan, tua, miskin dan mati.

Karena hidup hanya satu kali..
beruntunglah orang yang mengakhiri hidupnya dengan kebaikan dan rugilah orang yang berkahir hidupnya dengan kejelekan.

Sabtu, 09 April 2016

Edelweiss

Aku mencium wewanggi
Aku merasakan hembusan kematian dari selaatan ....
Aku merasakan cinta dari rimba yang tak berujung....
Aku merasakan setia itu hanya milik para gunung ....
Aku terjatuh ketika aku akan bangkit,aku berharap ketika harapan itu di patahkan ....
Aku mencari lalu aku kehilangan,aku menemukan lalu aku ditinggalkan..
Sampai aku sadar ,
aku hanya ilalang,yang harus tegar dari setiap badai yang datang......
Aku hanya pantai tempat dimana setiap ombak menghembuskan amarahnya......?.
Aku hanya aku dalam ketidak akuan ku.

edelweis dari utara ......

Jumat, 08 April 2016

Meraih Kesempurnan Hidup

Ilmu yang mengajarkan tata cara menghargai diri sendiri, dengan “laku” batin untuk mensucikan raga dari nafsu angkara murka (amarah), nafsu mengejar kenikmatan (supiyah), dan nafsu serakah (lauwamah).

Pribadi membangun raga yang suci dengan menjadikan raga sebagai reservior nafsul mutmainah.. ~> Agar supaya jika manusia mati, raganya dapat menyatu dengan “badan halus” atau ruhani atau badan sukma.

Hakikat kesucian, “badan wadag” atau raga tidak boleh pisah dengan “badan halus”, karena raga dan sukma menyatu (curigo manjing warongko) pada saat manusia lahir dari rahim ibu.

Sebaliknya, manusia yang berhasil menjadi kalifah Tuhan, selalu menjaga kesucian (bersih dari dosa), jika mati kelak “badan wadag” akan luluh melebur ke dalam “badan halus” yang diliputi oleh kayu dhaim, atau Hyang Hidup yang tetap ada dalam diri kita pribadi, maka dilambangkan dengan “warongko manjing curigo”. Maksudnya, “badan wadag” melebur ke dalam “badan halus”.

Pada saat manusia hidup di dunia (mercapada), dilambangkan dengan “curigo manjing warongko”; maksudnya “badan halus” masih berada di dalam “badan wadag”. Maka dari itu terdapat pribahasa sebagai berikut:

“Jasad pengikat budi, budi pengikat nafsu, nafsu pengikat karsa (kemauan), karsa pengikat sukma, sukma pengikat rasa, rasa pengikat cipta, cipta pengikat penguasa, penguasa pengikat Yang Maha Kuasa”.

contoh :
Jasad jika mengalami kerusakan karena sakit atau celaka, maka tali pengikat budi menjadi putus.

Orang yang amat sangat menderita kesakitan tentu saja tidak akan bisa berpikir jernih lagi.

Maka putuslah tali budi sebagai pengikat nafsu.

Maka orang yang sangat menderita kesakitan, hilanglah semua nafsu-nafsunya; misalnya amarah, nafsu seks, dan nafsu makan.

Jika tali nafsu sudah hilang atau putus, maka untuk mempertahankan nyawanya, tinggal tersisa tali karsa atau kemauan.

Hal ini, para pembaca dapat menyaksikan sendiri, setiap orang yang menderita sakit parah.. ~> energi untuk bertahan hidup tinggalah kemauan atau semangat untuk sembuh.

Apabila karsa atau kemauan, dalam bentuk semangat untuk sembuh sudah hilang, maka hilanglah tali pengikat sukma, akibatnya sukma terlepas dari “badan wadag”, dengan kata lain orang tersebut mengalami kematian.

Namun demikian, sukma masih mengikat rasa, dalam artian sukma sebenarnya masih memiliki rasa, dalam bentuk rasa sukma yang berbeda dengan rasa ragawi.
Bagi penganut kejawen percaya dengan rasa sukma ini..~> Maka di dalam tradisi Jawa, tidak boleh menyianyiakan jasad orang yang sudah meninggal.

Karena dipercaya sukmanya yang sudah keluar dari badan masih bisa merasakannya.

Rasa yang dimiliki sukma ini, lebih lanjut dijelaskan karena sukma masih berada di dalam dimensi bumi, belum melanjutkan “perjalanan” ke alam barzah atau alam Ruh.

Rahsa atau rasa, merupakan hakikat Dzat (Yang Maha Kuasa) yang mewujud ke dalam diri manusia. Dzat adalah Yang Maha Tinggi, Yang Maha Kuasa, Tuhan Sang Pencipta alam semesta.

Urutan dari yang tertinggi ke yang lebih rendah adalah sebagai berikut;

Dzat (Dzatullah) Tuhan Yang Maha Suci, meretas menjadi;

Kayu Dhaim (Kayyun) Energi Yang Hidup, meretas menjadi;

Cahya atau cahaya (Nurullah), meretas menjadi;

Rahsa atau rasa atau sir (Sirrullah), meretas menjadi ;

Sukma atau ruh (Ruhullah).

No 1 s/d no 5 adalah retasan dari Dzat, Tuhan Yang Maha Kuasa, maka Ruh bersifat abadi, Cahaya bersifat mandiri tanpa perlu bahan bakar.

Ruh yang suci yang akan melanjutkan “perjalanannya” menuju ke haribaan Tuhan, dan akan melewati alam Ruh atau alam Barzah, di mana suasana menjadi “jengjem jinem” tak ada rasa lapar-haus, emosi, amarah, sakit, sedih, dsb.

Sebelum masuk ke dimensi Barzah, Ruh melepaskan tali rasa.. ~> kemudian Ruh masuk ke dalam dimensi alam Barzah menjadi hakikat Cahaya tanpa rasa, dan tanpa karsa.

Yang ada hanyalah ketenangan sejati, manembah kepada gelombang Dzat, lebur dening pangastuti.

KONSEP ARWAH PENASARAN

Sebaliknya Ruh yang masih berada di dalam dimensi ghaibnya bumi, masih memiliki tali rasa

Misalnya rasa penasaran karena masih ada tanggungjawab di bumi yang belum terselesaikan, atau jalan hidup, atau “hutang” yang belum terselesaikan, menyebabkan rasa penasaran.

Oleh karena itu dalam konsep Kejawen dipercaya adanya arwah penasaran, yang masih berada di dalam dimensi gaibnya bumi.

Sehingga tak jarang masuk ke dalam raga orang lain yang masih hidup yang dijadikan sebagai media komunikasi, karena kenyataan bahwa raganya sendiri telah rusak dan hancur.

Itulah sebabnya mengapa di dalam ajaran Kejawen terdapat tata cara “penyempurnaan” arwah (penasaran) tersebut.

JALAN SETAPAK MERAIH KESUCIAN
(Jihad/Perang Baratayudha/Perang Sabil)

Mati penasaran (su'ul khatimah), kebalikan dari mati sempurna (husnul khatimah)

Dalam kajian Kejawen, mati dalam puncak kesempurnaan adalah mati moksa atau mosca atau mukswa..~> Yakni warangka (raga) manjing curigo (ruh).

Raga yang suci, adalah yang tunduk kepada kesucian Dzat yang terderivasi ke dalam Ruh.

Ruh Suci/Roh Kudus (Ruhul Kuddus) sebagai retasan dari hakikat Dzat, memiliki 20 sifat yang senada dengan 20 sifat Dzat, misalnya kodrat, iradat, berkehendak, mandiri, abadi, dst.

Sebaliknya, Ruh yang tunduk kepada raga hanya akan menjadi budak nafsu duniawi, sebagaimana sifat hakikat ragawi, yang akan hancur, tidak abadi, dan destruktif. Menjadi raga yang nista, berbanding terbalik dengan gelombang Dzat Yang Maha Suci.

Oleh karena itu....
menjadi tugas utama manusia, yakni memenangkan perang Baratayudha di Padang Kurusetra, antara Pendawa (kebaikan yang lahir dari akal budi dan panca indera) dengan musuhnya Kurawa (nafsu angkara murka).

Perang inilah yang dimaksud pula dalam ajaran Islam sebagai Jihad Fii Sabilillah, bukan perang antar agama, atau segala bentuk terorisme.

Adapun ajaran untuk menggapai kesucian diri, atau Jihad secara Kejawen, yakni mengendalikan hawa nafsu, serta menjalankan budi (bebuden) yang luhur nilai kemanusiannya (habluminannas) yakni ;
? rela (rilo),
? ikhlas (legowo),
? menerima/qonaah (narimo ing pandum),
? jujur dan benar (temen lan bener),
? menjaga kesusilaan (trapsilo)
? jalan hidup yang mengutamakan budi yang luhur (lakutama).

Adalah pitutur sebagai pengingat-ingat agar supaya manusia selalu eling atau selalu mengingat Tuhan untuk menjaga kesucian dirinya, seperti dalam falsafah Kejawen berikut ini :

“jagad bumi alam kabeh sumurupo marang badan, badan sumurupo marang budi, budi sumurupo marang napsu, napsu sumurupo marang nyowo, nyowo sumurupo marang rahso, rahso sumurupo marang cahyo, cahyo sumurupo marang atmo, atmo sumurupo marang ingsun, ingsun jumeneng pribadi”

jagad bumi seisinya pahamilah badan, badan pahamilah budi,
budi pahamilah nafsu,
nafsu pahamilah nyawa,
nyawa pahamilah karsa,
karsa pahamilah rahsa,
rahsa pahamilah cahya,
cahya pahamilah Yang Hidup,
Yang Hidup pahamilah Aku,
Aku berdiri sendiri (Dzat).

Artinya, bahwa manusia sebagai derivasi terakhir yang berasal dari Dzat Sang Pencipta harus (wajib) memiliki kesadaran mikrokosmis dan makrokosmis yakni “sangkan paraning dumadi” serta tunduk, patuh dan hormat (manembah) kepada Dzat Tuhan Pencipta jagad raya.

Selain kesadaran di atas, untuk menggapai kesucian manusia harus tetap berada di dalam koridor yang merupakan “jalan tembus” menuju Yang Maha Kuasa.

Ada 7 perkara yang harus dicegah, yakni;

1. Jangan ceroboh, tetapi harus rajin sesuci.

2. Jangan mengumbar nafsu makan, tetapi makanlah jika sudah merasa lapar.

3. Jangan kebanyakan minum, tetapi minum lah jika sudah merasa haus.

4. Jangan gemar tidur, tetapi tidur lah jika sudah merasa kantuk.

5. Jangan banyak omong, tetapi bicara lah dengan melihat situasi dan kondisi.

6. Jangan mengumbar nafsu seks, kecuali jika sudah merasa sangat rindu.

7. Jangan selalu bersenang-senang hati dan hanya demi membuat senang orang-orang, walaupun sedang memperoleh kesenangan, asal tidak meninggalkan duga kira.

Demikian pula, di dalam hidup ini jangan sampai kita terlibat dalam 8 perkara berikut;

1. Mengumbar hawa nafsu.

2. Mengumbar kesenangan.

3. Suka bermusuhan dan tindak aniaya.

4. Berulah yang meresahkan.

5. Tindakan nista.

6. Perbuatan dengki hati.

7. Bermalas-malas dalam berkarya dan bekerja.

8. Enggan menderita dan prihatin.

Sebab perbuatan yang jahat dan tingkah laku buruk hanya akan menjadi aral rintangan dalam meraih rencana dan cita-cita, seperti digambarkan dalam rumus bahasa berikut ini;

1. Nistapapa
orang nista pasti mendapat kesusahan.

2. Dhustalara
orang pendusta pasti mendapat sakit lahir atau batin.

3. Dorasangsara
gemar bertikai pasti mendapat sengsara.

4. Niayapati
orang aniaya pasti mendapatkan kematian.

PERBUATAN, PASTI akan MENIMBULKAN “RESONANSI”

Demikian lah, sebab pada dasarnya perilaku hidup itu ibarat suara yang kita kumandang akan menimbulkan gema.

Artinya apapun perbuatan kita kepada orang lain, sejatinya akan berbalik mengenai diri kita sendiri.

Jika perbuatan kita baik pada orang lain, maka akan menimbulkan “gema” berupa kebaikan yang lebih besar yang akan kita dapatkan dari orang lainnya lagi.

Hal ini dapat dipahami sebagaimana dalam peribahasa;

Barang siapa menabur angin, akan menuai badai,

Siapa menanam, akan mengetam,

Barang siapa gemar menolong, akan selalu mendapatkan kemudahan,

Barang siapa gemar sedekah kepada yang susah, rejekinya akan menjadi lapang.

Orang pelit, pailit

Pemurah hati, mukti

PERILAKU TAPA BRATA

Idealnya, setiap orang sepanjang hidupnya dapat melaksanakan “tapa brata” atau mesu-budi, menahan hawa nafsu, yg mempunyai kesamaan dg hakikat puasa seperti di bawah ini;

1. Tapa/puasanya badan/raga
harus anoraga; rendah hati; gemar berbuat baik.

2. Tapa/puasanya hati
nerima apa adanya; qonaah; tak punya niat/prasangka buruk, tidak iri hati.

3. Tapa/puasanya nafsu
ikhlas dan sabar dalam menerima musibah, serta memberi maaf kepada orang lain.

4. Tapa/puasanya sukma
jujur menjalani hidup.

5. Tapa/puasanya rahsa
mengerem sembarang kemauan, serta kuat prihatin dan menderita.

6. Tapa/puasanya cahya
eneng-ening; tirakat atau bertapa dalam keheningan, kebeningan, dan kesucian.

7. Tapa/puasanya hidup (gesang)
eling (selalu ingat/sadar makro-mikrokosmos) dan selalu waspada dari segala perilaku buruk.

Selain itu..
anggota badan (raga) juga memiliki tanggungjawab masing-masing sebagai wujud dari hakikat puasa/tapa brata ;

1. Tapa/puasanya netro/mata
mencegah tidur, dan menutup mata dari nafsu selalu ingin memiliki/menguasai.

2. Tapa/puasanya karno/telinga
mencegah hawa nafsu, enggan mendengar yang tak ada manfaatnya atau yang buruk-buruk.

3. Tapa/puasanya grono/hidung
mencegah sikap gemar membau, dan enggan “ngisap-isap” keburukan orang lain.

4. Tapa/puasanya lisan/mulut
mencegah makan, dan tidak menggunjing keburukan orang lain.

5. Tapa/puasanya puruso/kemaluan
mencegah syahwat, tidak sembarangan ngentot/rakit/ngewe/senggama/zina.

6. Tapa/puasanya asto/tangan
mencegah curi-mencuri, rampok, nyopet, korupsi, dan tidak suka cengkiling; jail dan menyakiti orang lain.

7. Tapa/puasanya suku/kaki
mencegah langkah menuju perbuatan jahat, atau kegiatan negatif, tetapi harus gemar berjalan sembari “semadi” yakni berjalan sebari eling lan waspodo.

Tapa/maladihening/mesu budi/puasa seperti di atas dapat diumpamakan dalam gaya bahasa personifikasi, yang memiliki nilai falsafah yang sangat tinggi dan mendalam sbb;

“Katimbang turu, becik tangi.
Katimbang tangi, becik melek.
Katimbang melek, becik lungguh. Katimbang lungguh, becik ngadeg. Katimbang ngadeg, becik lumakuo”.

Daripada tidur lebih baik bangun. Daripada bangun lebih baik melek. Daripada melek lebih baik duduk. Daripada duduk lebih baik berdiri. Daripada berdiri lebih baik melangkah lah

Untuk meraih kesempurnaan dalam melaksanakan tata laku di atas, hendaknya setiap langkah kita selalu eling dan waspada.

Agar supaya setelah menjadi manusia pinunjul tidak menjadi sombong dan takabur, sebaliknya justru harus disembunyikan semua kelebihan tersebut, dan tidak kentara oleh orang lain, sehingga setiap jengkal kelemahan tidak memancing hinaan orang lain.

Untuk itu manusia pinunjul harus;

1. Solahbawa, harga diri, perbuatan, harus selalu di jaga

2. Keluarnya ucapan harus dibuat yang mendinginkan, menyejukkan, dan menentramkan lawan bicara

3. Raut wajah yang manis, penuh kelembutan dan kasih sayang.

Inilah sejatinya tata krama dalam ajaran Kejawen.

Kesempurnaan dalam melaksanakan langkah-langkah di atas, seyogyanya menimbang situasi dan kondisi, menimbang waktu dan tempat secara tepat, tidak asal-asalan.

Karena sekalipun “isi”nya berkualitas, tetapi bungkusnya jelek, maka “isi”nya menjadi tidak berharga.

Dengan kata lain, jangan mengabaikan (dugoprayoga) duga kira, bagaimana seharusnya yang baik.

Sebab sesempurnanya manusia tetap memiliki kekurangan atau kelemahan, sehingga manakala kelemahan dan kekurangan tersebut diketahui orang lain tidak akan menjadi “batu sandungan”.

Seperti dalam ungkapan sebagai berikut;

1. Kusutnya pakaian, tertutup oleh derajat (harga diri) yang luhur.

2. Terpelesetnya lidah, tertutup oleh manisnya tutur kata.

3. Kecewanya warna, tertutup oleh budi pekerti.

4. Cacadnya raga, tertutup oleh air muka yang ramah.

5. Keterbatasan, tertutup oleh sabar dan bijaksana.

Oleh karena itu, meraih kesempurnaan dalam konteks ini diartikan kesempurnaan dalam melaksanakan tapa brata.

Kegagalan melaksanakan tapa brata, dapat membawa manusia kepada zaman “paniksaning gesang” tidak lain adalah nerakanya dunia, seperti di bawah ini;

1. Zamannya kemelaratan, dimulai dari perilaku boros

2. Zamannya menderita aib, dimulai dari watak lupa terlena, tanpa awas.

3. Zamannya kebodohan, dimulai dari sikap malas dan enggan.

4. Zamannya angkara, dimulai dengan sikap mau menang sendiri

5. Zamannya sengsara, dimulai dari perilaku yang kacau.

6. Zamannya penyakit, diawali dari kenyang makan.

7. Zamannya kecelakaan, diawali dari perbuatan mencelakai orang lain.

Sebaliknya, “ganjaraning gesang” atau “surganya dunia”, lebih dari sekedar kemuliaan hidup itu sendiri, yakni;

1. Zamannya keberuntungan, awalnya dari sikap hati-hati, tidak ceroboh.

2. Zamannya kabrajan, awalnya dari budi luhur dan belas kasih.

3. Zamannya keluhuran, awalnya dari giat andap asor, sopan santun.

4. Zamannya kebijaksanaan, awalnya dari telaten bibinau.

5. Zamannya kesaktian (kasekten), awalnya dari puruita dan tapabrata.

6. Zamannya karaharjan (ketentraman-keselamatan), awalnya dari eling dan waspada.

7. Zamannya kayuswan (umur panjang), awalnya sabar, qonaah, narimo, legowo, tapa.

SHALAT/SEMBAHYANG DHAIM

Garis besarnya TAPA BRATA,
agar supaya mudah diingat dan gampang dicerna bagi para pembaca yang masih awam tentang ajaran Kejawen.

Selain dipaparkan di atas, sejalan dengan bertambahnya usia, seyogyanya hidup itu sembari mencari ciptasasmita, “tuah” atau petunjuk yang tumbuh jiwa yang matang dan dari dalam lubuk budi yang suci.

Pada dasarnya, tumbuhnya budipekerti (bebuden) yang luhur, berasal dari tumbuhnya rasa eling, tumbuhnya kebiasaan tapa, tumbuhnya sikap hati-hati, tumbuhnya “tidak punya rasa punya”, tumbuhnya kesentausaan, tumbuhnya kesadaran diri pribadi, tumbuhnya “lapang dada”, tumbuhnya ketenangan batin, tumbuhnya sikap manembah (tawadhu’).

Pertumbuhan itu berkorelasi positif atau sejalan dengan usia seseorang.

Akan tetapi, jika semakin lanjut usia seseorang dan perkembangannya berbanding terbalik, mempunyai korelasi negatif, yakni justru memiliki tabiat dan karakter seperti anak kecil, ia merupakan produk topobroto yang gagal.

Untuk mencegahnya tidak lain harus selalu mencegah hawa nafsu, serta mengupayakan dengan sungguh-sungguh untuk meraih kesempurnaan ilmu.

Begitu pentingnya hingga adalah “wewarah” yang juga merupakan nasehat yang hiperbolis, sbb;

“ageng-agenging dosa punika tiyang ulah ilmu makripat ingkang magel. Awit saking dereng kabuko ing pambudi, dados boten superep ing suraosipun”

Bagi yang sudah lulus, dapat menerima semua ilmu, tentu akan menemui kemuliaan “sangkan paran ing dumadi”.

Siapa yang sunguh-sungguh mengetahui Tuhannya, sesungguhnya dapat mengetahui di dalam badanya sendiri.

Siapa yang sungguh-sunggun mengetahui badannya sendiri, sesungguhnya mengetahui Tuhannya.

Artinya siapa yang mengetahui Tuhannya, ia lah yang mengetahui semua ilmu kajaten (makrifat).

Siapa yang sunguh-sungguh mengetahui sejatinya badannya sendiri, ia lah yang dapat mengetahui akan hidup jiwa raganya sendiri.

Kita harus selalu ingat bahwa hidup ini tidak akan menemui sejatinya “ajal”, sebab kematian hanyalah terkelupasnya isi dari kulit.

“Isi” badan melepas “kulit” yang telah rusak, kemudian “isi” bertugas melanjutkan perjalanan ke alam keabadian.

Hanya raga yang suci yang tidak akan rusak dan mampu menyertai perjalanan “isi”.

Sebab raga yang suci, berada dalam gelombang Dzat Illahi yang Maha Abadi.

Maka dari itu, jangan terputus dalam lautan “manembah” kepada Gusti Pangeran Ingkang Sinembah...~> Agar supaya menggapai “peleburan” tertinggi, lebur dening pangastuti; yakni raga dan jiwa melebur ke dalam Cahaya yang Suci; di sanalah manusia dan Dzat menyatu dalam irama yang sama; yakni manunggaling kawulo Gusti.

Dengan sarana selalu mengosongkan panca indera, serta menyeiramakan diri pada Sariraning Bathara, Dzat Yang Maha Agung, yang disebut sebagai

“PANGABEKTI INGKANG LANGGENG”

(shalat dhaim) sujud, manembah (shalat) tanpa kenal waktu, sambung-menyambung dalam irama nafas, selalu eling dan menyebut Dzat Yang serba Maha.

Adalah ungkapan;

“shalat ngiras nyambut damel, lenggah sinambi lumampah, lumajeng salebeting kendel, ambisu kaliyan wicanten, kesahan kaliyan tilem, tilem kaliyan melek.

sembahyang sambil bekerja, duduk sambil berjalan, berjalan di dalam diam, membisu dengan bicara, bepergian dengan tidur, tidur sembari melek.

Jika ajaran ini dilaksanakan secara sungguh-sungguh, berkat Tuhan Yang Maha Wisesa, setiap orang dapat meraih kesempurnaan Waluyo Jati, Paworing Kawulo Gusti, TIDAK TERGANTUNG APA AGAMANYA.

Semoga Ada Manfaatnya...

Salam Ukhuwah

Jadilah Seperti Lebah


Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan orang beriman itu bagaikan lebah. Ia makan yang bersih, mengeluarkan sesuatu yang bersih, hinggap di tempat yang bersih dan tidak merusak atau mematahkan (yang dihinggapinya).” (Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Bazzar)

Seorang mukmin adalah manusia yang memiliki sifat-sifat unggul. Sifat-sifat itu membuatnya memiliki keistimewaan dibandingkan dengan manusia lain. Sehingga di mana pun dia berada, kemana pun dia pergi, apa yang dia lakukan, peran dan tugas apa pun yang dia emban akan selalu membawa manfaat dan maslahat bagi manusia lain. Maka jadilah dia orang yang seperti dijelaskan Rasulullah saw., “Manusia paling baik adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi manusia lain.”

Kehidupan ini agar menjadi indah, menyenangkan, dan sejahtera membutuhkan manusia-manusia seperti itu. Menjadi apa pun, ia akan menjadi yang terbaik; apa pun peran dan fungsinya maka segala yang ia lakukan adalah hal-hal yang membuat orang lain, lingkungannya menjadi bahagia dan sejahtera.

Nah, sifat-sifat yang baik itu antara lain terdapat pada lebah. Rasulullah saw. dengan pernyataanya dalam hadits di atas mengisyaratkan agar kita meniru sifat-sifat positif yang dimiliki oleh lebah. Tentu saja, sifat-sifat itu sendiri memang merupakan ilham dari Allah swt. seperti yang Dia firmankan, “Dan Rabbmu mewahyukan (mengilhamkan) kepada lebah: ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Rabbmu yang telah dimudahkan (bagimu).’ Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Rabb) bagi orang-orang yang memikirkan.” (An-Nahl: 68-69)